Skip to main content

Langit Malam #Cerpen

               “Plak-plak-plak” suara langkah kaki Viona berlari menuju Ibunya yang ada di luar rumah, Ia bersemangat sehabis dari rumah Bu minah, cewek berbaju lengan panjang merah, rok biru menyapa Ibunya.
“Bu, liburan ini aku boleh kan ke Surabaya kesempatan bu, mumpung ada yang kesana dan juga hari ini libur?” suara Viona yang terdengar lantang. 
Viona yang gemar menengok bintang saat malam tiba dan tertarik pelajaran yang berkaitan tentang astronomi ingin langsung bisa mempelajari minatnya di Planetarium itu. Keinginan mengunjungi planetarium untuk bisa nambah pengetahuannya tak disetujui Ibunya. 
“Ibu kan sudah bilang nak, kamu gak usah kesana, kalau liburan ya ke rumah nenek saja di Desa” jawab Ibu viona yang sedang menyapu halaman. 
“Tapi Bu, Vion kan sudah mengumpulkan uang, nanti berangkatnya bisa sama Bu minah (tetangga sebelahnya) karena kan disana sekalian juga ada Planetarium, Vion ingin sekali kesana Bu.” terang Vion menjelaskan. 
“Nak, Ibu kan sudah bilang Ibu tidak memperbolehkan, Ibu tak punya cukup tambahan uang untuk ongkos kamu. Sudahlah Nak, Ibu harap kamu mengerti.”
            Keluarga yang tinggal Ibu dan anak itu, tinggal di pesisir pantai, dengan keadaan serba cukup. Viona segera pergi dari hadapan Ibunya, ia berlari menuju bukit, bukit yang terletak di tepi kiri dan kanan pantai di situ. Viona yang sudah terlanjur jatuh cinta pada tempat itu, pantai yang pemandangannya indah dengan airnya yang jernih, butiran pasir pantai yang lembut, dan berbatuan, tapi jarang dikunjungi para wisatawan, itulah yang disukai Viona di pantai dengan ketenangan. Segera ia duduk dengan kaki ke depan dada di pucuk bukit itu dengan pandangan wajah menyerah. Dengan suasana pemandangan yang indah dan menyejukkan Viona melihat-lihat ke atas awan, awan yang berwarna biru cerah, angin yang bersepoi-sepoi, cuaca yang sejuk tapi tak sesejuk hati Viona sekarang. Keadaan alam yang bisa menentramkan hatinya sejenak, sampai tak terasa sudah pukul 5 sore. Saat menengok ke langit lagi, banyak burung-burung berkicau, terlihat burung yang aneh, dia terbang di hadapan Viona, begitu menariknya, burung itu membuat Viona ingin menangkapnya, burung itu membuat Viona bermain-main, Viona terus melangkah mengejarnya, tiba-tiba,
“Brushhhh, byuuurrrr”. Suara air dan kepakan tangan saut-sautan, Viona terjatuh dari bukit. Gelombang-gelombang besar berlomba-lomba membawanya.
           Beberapa waktu kemudian, “byuuur” kepala Viona muncul dari permukaan laut. Sejenak Viona bingung, dia langsung berada di tengah laut, ajaibnya dia dibantu dengan balok kayu, yah balok kayu yang dipegang oleh Viona supaya tidak tenggelam. 
“La...ut... laut, aku di tengah laut, gimana bisa, waduuh apa yang harus aku lakukan.” 
Viona melihat di sekelilingnya semua laut tak terlihat tepi pantai, hanya dia sendiri dan laut. Hari sudah semakin sore, Ia mulai takut. 
“Aku harus kembali ke rumah sebelum hari mulai gelap, ini bisa gawat, tapi bagaimana, aku tak terlalu bisa berenang.” ketakutan Viona muncul.
Ia mencoba berenang dengan berpegangan balok kayu itu walaupun tenggelam, muncul lagi tenggelam lagi. Sementara Viona yang berusaha berenang, pikirannya teralihkan pada cahaya sunset. Tengoklah Ia ke belakang. 
“ Woooooowwww...besar sekali, bagus banget, tak pernah aku melihat sunset semenarik ini.” kagum Viona melihat sunset yang seakan berada di belakang meneranginya. Pemandangan sunset yang begitu menarik, matahari yang bulat dan besar, memerahi semua awan dengan cahaya terang yang mulai pudar menghangatkan laut, yang seakan membuat hati Viona tak akan melewati moment ini, moment dimana menunggu sunset di tengah laut, menakjubkan. Sunset terindah yang pernah dilihat begitu besar. Fikiran Viona yang sejenak terhibur, mulai khawatir karena hari sudah semakin gelap, Ia baru saja menyadari dan berusaha berenang lagi 9-10 kali ayunan tangan berenang “Pyak-pyak-pyak” tapi sama sekali tak terlihat tepi pantai apalagi hari sudah semakin gelap. Matahari sudah menghilang dan datanglah malam yang tlah tiba, Ia mulai takut dan cemas, 
“Bagaimana ini, Ibu pasti mencari ku tidak pulang-pulang, apalagi kalau aku tidak bisa kembali, heeem heeem, enggak - enggak aku akan berenang terus, aku harus bisa pulang.” 
“Pyak-pyak-pyak” suara kepakan tangan Viona, 
“Byur bah, byur bah, byur bah” nafas yang tersendat-sendat setiap kali masuk ke air. 
            Angin mulai merebah ke seluruh tubuhnya, dingin, takut, dan cemas yang sekarang dirasakan Viona. Pikirannya mulai campur aduk, dia takut, sangat takut, di tengah laut sendiri dalam kegelapan dan dinginnya angin yang terus menghembus, sementara ia tak mungkin berhenti di situ terus, dia tak akan bisa pulang ke rumah. 
“Ehhhem, ehhem, ehhem” air mata Viona yang mulai menetes.
Ia terus berenang dengan jatuhnya air mata. Berusaha sendiri dengan ketakutan. Dalam pikiran yang serba ruwet, ia masih mengingat untuk menengok langit kembali, bermaksud untuk menghibur. 
“Wooouuuuwwwww, sumpah bagus banget, ini mimpi bukan, sumpah ” ketakjuban Viona melihat langit yang telah gelap, ternyata langit itu menyambut Viona dengan menarik, bukan hanya saat sunset saat malam ini pun tak kalah indahnya. 
“Ini dimana, aku seperti berada di Planetarium, ternyata Tuhan masih memberikan aku kebesaranNya pada saat begini, sempat saja aku bahagia lagi.” 
           Malam yang begitu meriah, seperti pesta bintang, bintang yang menemaninya membuat Viona betah melihat langit itu, seperti biasa ia suka menghitung-hitung bintang, bulan pun tak terlewatkan, sinarnya begitu merosot ke mata Viona, menerangi malam itu. Ia tak menyangka bisa melihat pemandangan yang indah ini, seperti malam yang diimpakan. Sunyi, sendiri, angin yang bersemilir, bintang yang terus berkedip, di tengah laut, tanpa ada siapa-siapa. Waktu yang tepat untuk mencurahkan isi hati dan impiannya. Sejenak memikirkan dan mengagumi Kebesaran Tuhan, sekilas ia terpikir Ibunya. 
“Kenapa ya, Ibu tak suka dengan aku saat malam melihat-lihat dilangit, kenapa dia tak suka dengan langit berbintang dan laut, padahal sangat mengasyikkan.” 
Viona teringat kemarin sepulang sekolah. 
“Bu, Vion mau main dulu ya sama teman-teman.” 
Bergegas ia langsung ganti baju dan membawa tas. 
“Vion, sebelum malam kamu harus pulang dan jangan main di pantai.’’ 
“Ehm, iya kok bu. Berangkat ya?” Viona mencium tangan Ibunya dan langsung pergi. 
          Sore tiba, 
“Assalamualaikum, Vion pulang bu”. 
“Waallaikumsallam, Vion, Ibu mau tanya kamu tadi gak main ke pantai kan?” 
“Enggak enggak kok bu, cuma ke rumah Nela” pandangan Viona ke Ibunya dengan alis terangkat. 
“Kamu gak bohong, Ibu sudah tahu semuanya kok, jadi selama ini kamu mainan ke pantai, oh...” jawab Ibu sambil membuka tas Viona. 
“Ini baju kamu renang kan,”tanya Ibu lagi dengan mengambil baju Viona yang basah kuyup untuk renang. Viona menundukkan kepala. 
“Iya Bu itu benar, maaf bu, Vion sudah bohong, tapi apa salah Viona pergi ke pantai, kenapa sih ibu melarang Vion pergi?”
“Vion, ombak sekarang lagi besar, Ibu cuma takut kamu kenapa-kenapa”. Jawab Viona, 
“Tapi Bu, tidak terjadi apa-apa kan selama ini, toh ombaknya gak terlalu berbahaya, Vion hanya ingin bisa renang, kita kan tinggal di dekat pantai masak gak bisa renang, semua teman-teman Vion bisa renang, Bu.” 
Ibu langsung pergi ke dapur, dan menjawab
“Ibu juga gak bisa renang kok.” Viona langsung menuju kamarnya. 
          Malam tiba, seperti biasa, Vion ke depan rumah, melihat keadaan langit malam. Duduk di kursi membaca sebuah buku dan memakai jaket, itu kesehariannya, bukunya pun tak jauh tentang astronomi, Ibunya yang melihat Viona seperti itu, tak suka melihatnya. 
“Malam yang begitu indah, pasti malam yang berikutnya akan lebih indah lagi dari ini” sambut Viona memandang langit. 
“Tak ada malam yang indah, semua terasa sama” sahut Ibunya mendengar Vion berbicara. 
“Ibu, apakah malam berbintang dengan malam yang sepi itu sama, tak ada sesuatu lagi yang akan menemani bulan itu kecuali bintang, sejatinya dia menemani untuk membuat malam tak kalah dengan pagi hari, malam yang ternyata merebut matahari, tapi sesungguhnya membuat sang mentari untuk lebih bersemangat untuk paginya” ucap Viona dengan puitis. 
“Tapi dibalik semua itu, tak seindah yang dibayangkan, bintang yang selalu terang itu hanya kesepian, yah dia ingin manusia memandanginya terus dan menikmatinya tuk ikut merasakan kesepian dan terbawa terlenanya itu untuk melupakan apa yang kita alami kenyataan, huft sungguh tak indah.” sahut Ibunya dengan kritis yang terus menyahut ucapan Viona. 
“Ibu, bintang tak kesepian, justru dia yang menemani bulan yang kesepian, dia diciptakan bermakna, dia selalu datang pada malam yang cerah, dia menunjukkan bahwa kegelapan tak selamanya buruk, dengan kegelapan kita bisa menemukan cahaya, dengan kegelapan kita dapat membuatnya sadar apa kesalahan kita apa yang pernah kita lakukan itu merupakan suatu langkah modal untuk membuat dan memperbaiki yang ingin kita impikan tapi tatkala dia tak datang saat malam hari menunjukkan bahwa malam yang indah itu saat adanya bintang.” begitu tersentuhnya kata-kata Viona membuat Ibunya tak dapat menjawab lagi, Ibunya langsung ke dalam meninggalkan Viona. 
“Ibu, betul kan, Bu?” tanya Viona yang butuh jawaban dari Ibunya. 
Ibunya tak menggubris. Percakapan itu membuat Viona penasaran kenapa Ibunya begitu. Kedua orang yang sama-sama mempunyai makna sendiri seperti bukan Ibu dan anak. Viona melanjutkan membacanya.
            Kembali di tengah laut. Viona yang memikirkan kejadian kemarin berkata, 
“Hoom.. Ibu memang aneh, andaikan Ibu ada disini bisa merasakan bersamaku, kapan dia bisa menikmati seperti aku, apa dari kecil dia memang seperti gitu, aneh.” 
Tiba–tiba terlihat bintang jatuh, 
“Wow, ada bintang jatuh lengkap juga keindahan malam ini.” 
Di tengah laut seperti ini dengan dinginnya malam, walaupun Viona merasa senang dengan malam ini, tapi ia juga khawatir, ia takut tidak bisa kembali, karena disitu gelap, sangat gelap. Hati berdebar-debar pun muncul,
“Huhhhft, semua akan baik-baik saja. Aku harus pulang, semua akan baik-baik saja.” 
“Byurrrr” tenggelam lagi, ia sudah tak mampu, tubuhnya sudah tak kuat. Viona ingin menangis, Ia menyalahkan dirinya jika terjadi apa-apa dengan Ibunya yang mengkhawatirkannya. Tak kuat menahan lelahnya, ia hanya memegang kayu dengan digeraknya ombak-ombak.
          Keesokan harinya, 
“Woy, tolong ada anak disini, tolong” . Seorang penduduk menemukan Viona di tepi pantai.
Ia terbawa ombak. Ia dibawa ke rumah Bu minah yang berada disamping rumahnya. 
“ Ghuk, uhuk” Viona tersadar. 
“Vion, kamu sudah sadar, kamu kemana saja semalaman, Ibumu mengkhawatirkanmu, eh. Ini balok kayu apa?, aku menemukannya di saat kamu di tepi pantai” suara Bu minah menyapa Viona. Viona segera terbangun di rumah Bu minah,
“Ibu, ibu, dimana ibu” tanya Viona cemas. 
“Tenanglah, eeeh ibumu tidak apa-apa , kamu cerita, apa yang terjadi?” 
“Itu Bu, kemarin sore aku terjatuh di laut, untung saja sampai sekarang aku selamat. Kalau kayu ini, aku endak tahu, mungkin dia yang telah menyelamatkanku, aku enggak tahu darimana asalnya.” terang Viona. 
“Apa? kamu di laut semalam, kamu gak apa-apa nak? Ini sepertinya balok kayu ibumu deh, oh iya aku baru ingat, ini kan kayu yang disuruh membuang ke laut oleh ibumu” tanya Bu minah lagi. 
“Oh, aneh bisa ke aku. Em..Iya begini, bu aku mau tanya, ibu jawab jujur iya, ibu kan sudah kenal lama sama ibuku, apa ibu tahu kenapa ibu begitu gak suka sama laut dan malam apalagi jika ada bintang, itu aneh sekali kan, cuma dia yang gak suka?”
“Ehmm.. ibu juga tidak tahu” wajah Bu minah tertunduk ragu. 
“Bu minah bohong, kenapa bu, ibuku pasti kemarin tak mencariku di laut kan?” tanya Viona lanjut. Bu minah teringat janjinya kepada Ibunya viona, ya ternyata ada rahasia, tapi prasangka Viona salah, Ibunya telah mencarinya, bahkan yang terjadi sebenarnya sangat fatal, segera Bu minah ingin menceritakan semua. 
“Nak, Vion” sapa Bu minah melihat Viona seperti melamun 
“Eh.. apa bu, oh iya apa yang terjadi dengan Ibuku? kumohon bu ceritakan”
“Sebenarnya, dulu saat Ibumu punya anak, anak itu masih bayi, Ibumu seperti kamu, dulu ia sifatnya seperti kamu, Ibumu suka dengan suasana malam berbintang tapi sejak ketiadaan bayi itu ia berubah.” 
“Ada apa yang terjadi?” tanya Vion lagi. 
“Saat di tepi pantai bersama bayi itu juga almarhum Ayahmu, ibumu sedang asyik melihat pemandangan bintang di langit, saking asyiknya ia tak tahu kalau bayi itu berjalan ke pantai, dan ia sudah tak tertolong, ibumu sangat menyesal, ia minta maaf kepada ayahmu” terang Bu minah. “Benar itu yang terjadi, kenapa ibu tidak menceritakan kepadaku, itu kan masalah besar, bayi itu siapa?” 
“Ehmm. Itu kakakmu”. Viona kaget, ia tak menyangka, ia langsung menemui ibu. 
“Vion, tunggu, sebenarnya ibumu sekarang memakai kursi roda itu cuma untuk menolong kamu kemarin, dia kakinya terkena batu, Vion dengarkan dulu, Viona...” Pembicaraan Bu minah tak didengar Vion yang segera pulang ke rumah. Di rumah, 
“Bu , ibu aku sudah pulang, aku mau nanya bu?” sapa Viona kepada ibunya yang sedang di mesin jahit. 
“Vion, kamu ndak ap-apa nak? Maafkan Ibu nak..” terpotong pembicaraan ibunya. 
“Iya bu, aku mau tanya, apa aku dulu punya kakak bu,” tanya Vion. 
“Ehmm, kamu ngomong apa sih” wajah Ibunya tertunduk. 
“Aku sudah tahu semua bu, kenapa ibu selama ini trauma.”
“Kamu sudah tahu semua nak, maafkan ibu nak, kamu pasti marah sama ibu,kan?” Ibu viona menangis. 
“Ibu, maafkan aku, gara-gara aku ibu jadi selalu tertekan dengan apa yang aku lakukan. Lalu kayu yang dibuang Ibu ke laut sebenarnya dia yang menyelamatkan aku, itu kayu apa bu?”
”Ehmm.. maafkan Ibu nak yang tidak bisa menolong kamu, kamu di laut kan, itu kayu mainan kakakmu dengan Ibu, saat dia kecil, Ibu dan kakakmu sering ke pantai saat sore hari bahkan malam hari dengan mainan pasir menggunakan kayu, itu menyenangkan. Ibu membuangnya untuk melupakan semuanya, Ibu sudah sadar kalau itu hanya masa lalu.” 
“Iya Bu, maafkan aku juga dan ,selama ini aku putuskan aku gak akan pergi ke planetarium tanpa restu ibu.” 
“Nak, ini tambahan uang untukmu, pergilah bersama bu minah.” 
“Ibu, ibu gak tahu apa yang sudah aku alami di laut, itu lebih dari tempat yang aku inginkan, itu sangat bagus. Pengalaman yang sangat langka bu” terang Vion. 
“Endak, Nak kamu pergi saja, jangan jadi yang menghalangimu itu Ibu. Maafkan Ibu nak selama ini”. Viona merasa sedikit senang diperbolehkannya pergi.
“Ibu.... aku gak akan pergi jika terjadi apa-apa sama ibu cuma gara-gara aku, karena aku yang sudah buat ibu khawatir” Viona menangis terharu. 
“Ibu yang salah, Ibu sangat trauma kejadian itu, Ibu.. Ibu gak tahu ....” terhenti pembicaraanya , Ibu viona terus menangis. 
“Ibu, ibu gak salah, aku tahu apa yang ibu rasakan, rupanya ibu dulu seperti aku, walaupun itu kesalahan jangan buat ibu menyalahkan diri ibu terus”. 
”Jadi kamu mau kan pergi sama Bu minah.” senyum Ibunya terlihat. 
          Viona menundukkan kepala. Ibunya pun menuju dan memberikan uang kepada Viona. Viona kaget, hatinya seakan dihantam tsunami saat melihat ibunya memakai kursi roda dengan kaki di perban di hadapan Viona. Sepertinya Viona harus membuat keputusan lagi.

by: Nurvita R

Comments

Post a Comment